Telah terukir dalam sejarah penyebaran agama Allah di muka bumi, seorang ayah dengan penuh haru meninggalkan istri dan bayi yang masih gendongan di tengah hamparan pasir jauh dari kehidupan. Sang ibu yang di tinggalkan hanya bisa pasrah menerima kenyataan. Kepasrahan yang di balut dengan keyakinan bahwa semua ini semata-mata atas perintah Allah menumbuhkan ketabahan dan kesabaran bagi keduanya walau deraian air mata membanjiri pelupuk mata.
KINI semuanya telah berlalu. Bayi yang dulu menangis lantang di padang pasir karena kehausan kini telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang gagah dan tampan. Hidupnya bahagia didampingi Ibrohim, sang ayah, dan istri Siti Hajar, sang ibu tercinta.
“Wahai Ismail...” panggil Ibrohim suatu hari.
“Ya ayah”
“Sekarang kamu sudah cukup dewasa. Apakah belum terpikir olehmu untuk mencari pendamping hidup?”
Ismail diam merenungkan kata-kata ayahnya. Walaupun suatu kalimat yang bernada pertanyaan namun sebagai anak yang cerdas ia mengerti bahwa ayahnya menginginkan anaknya segera menikah. Kepatuhannya terhadap sang ayah membuat ia tidak berpikir panjang lagi, dipilihnya gadis dari suku jurhum untuk dijadikan istrinya.
Pernikahn Ismail dengan putri suku jurhumpun dilangsungkan walaupun Ibrohim berhalangan hadir karena sedang pergi ke Mekkah. Kini Ismail mulai meniti kehidupan yang baru, ia tinggal bersama istrinya di sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah kedua orang tuanya.
Setelah sekian lama, Ibrohim pulang kembali ke Mekkah. Ia langsung rindu pada Ismail. Apalagi ia mendengar kabar bahwa Ismail sudah menikah. Ibrohim ingin segera bertemu dengan menantunya, maka berkunjunglah Ibrohim ke rumah ismail. Siang itu kebetulan Ismail sedang tidak ada di rumah, Ibrohim disambut oleh seorang perempuan yang tinggal di rumah itu. Perempuan itu tidak mengenali bahwa ibrohim itu adalah ayah mertuanya, Ibrohim sudah menerka bahwa perempuan itu menantunya.
“Bapak mencari siapa?” Tanya Istri Ismail.
“Saya ingin bertemu Ismail. Apakah dia ada di rumah?”
“Oo suami saya? ia sedang pergi bekerja”
“Oh ya? kalau begitu suamimu orang yang rajin bekerja dan pastilah kamu berbahagia memiliki suami seperti Ismail.”
Istri ismail diam sejenak, lalu berkata,”Semestinya aku bahagia hidup bersama kak Ismail. Tapi kenyataannya, hidup kami susah. Ismail sering pulang malam, itupun kadang tidak membawa apa-apa. Saya sering kesal dengan dia, setiap saya menuntut perbaikan ekonomi rumah tangga, ia selalu mengatakan sabar dulu ya... sabar. Sabar-kan ada batasnya. Yah, tak tahulah pak. Sampai kapan kami hidup menderita terus seperti ini?”
Ibrohim manggut-manggut mendengar penuturan istri ismail yang sama sekali tidak menceritakan kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama ismail. Tidak sedikitpun rasa syukur tercermin di dalamnya, yang ada hanyalah hawa nafsu istri yang selalu berangan-angan tinggi tanpa mengukur kemauan dan kemampuannya. Dari situ Ibrohim bisa menilai bahwa perempuan itu tidak layak menjadi menantunya, dia bukanlah seorang istri yang sholehat.
“Baiklah. Kalu begitu aku mohon pamit. Sampaikan salamku pada suamimu. Dan sampaikan pesanku agar suamimu segera mengganti daun pintu rumahnya”
Tak lama setelah Ibrohim pergi datanglah Ismail. Ia merasa ada seorang yang baru datang ke rumahnya.
“Istriku, apa ada seseorang yang datang kemari?”
“ Iya, seorang laki-laki tua mencarimu”
“Lalu, kau bilang apa?”
Istri Ismail menuturkan semua pembicaraanya dengan ibrohim tanpa sedikitpun merasa bersalah. Setelah semuanya diceritakan Ismail bertanya,” sebelum laki-laki itu pulang, apa yang ia katakan?”
“Ia kirim salam untukmu. Dia juga berpesan agar pintu rumah segera diganti”
Ismail merenung. Ia berusaha menangkap arti semua perbincangan antara istrinya dengan ayahnya, sampai pesan ayahnya agar ia mengganti pintu rumahnya. Kemudian Ismail menjelaskan, “wahai istriku, ketahuilah laki-laki tua itu adalah ayahku. Maksud ayah mengatakan agar mengganti pintu rumah diganti adalah ayah memerintahkan agar aku mencerai padamu dan mengembalikanmu ke rumah orang tuamu”
Maka, Ismail melaksanakan pesan yang di sampaikan ayahnya, Ibrohim. Istrinya dicerai dan diantar pulang kerumah orang tuanya.
Setelah sekian lama bercerai, Ismail kembali menikah. Pernikahannya kali inipun tidak dihadiri ayahnya, sehingga Ibrohim dengan istri Ismail belum saling mengenal. Kepergian Ibrohim cukup lama sehingga menimbulkan rasa rindu yang mendalam terhadap anaknya., Ismail. Namun sekali lagi Ibrohim tidak menjumpai putranya, ia hanya menemukan seorang perempuan yang menyambutnya. Ia tidak mengenali bahwa yang datang adalah ayah mertuanya. Ibrohim memandang perempuan itu lalu berkata dalam hati, “pasti ini manantuku...”
“Silahkan Pak, ada yang bisa saya bantu?”
“Bisakah saya bertemu dengan Ismail?”
“Suami saya sedang bekerja”
“Oh ya? Kalau begitu suamimu tentu orang yang rajin bekerja. Pasti kamu bahagia punya suami ismail”.
“Memang kak Ismail itu orangnya rajin, ulet, dan sabar. Hidup kami serba kecukupan, tidak pernah kekurangan makan maupun minum, bahagia sekali saya hidup bersama kak Ismail.”
Kesyukuran istri tergambar dari kata-kata yang diucapkan oleh istri Ismail. Istri yang sholihat, yang selalu bersyukur dan istri yang bisa menjaga rahasia rumah tangganya. Bahagialah Ibrohim memiliki menantu yang sholihat.
“Baiklah. Kalau begitu aku mohon pamit dulu. Mudah-mudahan Allah memberikan barokah kepada kalian. Sampaikan salamku pada suamimu. Dan, sampaikan pesanku agar ia tetap memelihara dan menjaga pintu rumahnya.”
Tak lama setelah Ibrohim pergi, datanglah Ismail. Ia merasa ada seseorang yang baru datang ke rumahnya.
“Kelihatannya ada yang baru datang?”
“ Iya, tadi ada bapak-bapak tua yang datang kemari. Dia menanyakanmu”
“Lalu, kamu bilang apa?”
Istri ismail menceritakan semua perbincangannya dengan Ibrohim. Rasa haru menyelimuti benak Ismail.
“Sebelum bapak tua itu pulang, apa yang ia katakan?”
“Dia kirim salam untukmu. Dia juga berpesan agar pintu rumah tetap dipelihara dan di jaga”
Ismail diam sejenak, lalu...
“Wahai istriku. Ketahuilah, Bapak tua itu adalah ayahku. Beliau mengatakan pintu rumah harus tetap dipelihara dan dijaga, artinya beliau memerintahkan agar aku tetap melindungi dan menjagamu. Kau tetap menjadi istriku...”.
*****************
Sumber HR “Shohih Bukhori”
0 komentar:
Posting Komentar